Hendra: HPH PT Dwima Jaya Group Terus Lakukan Tata Kelola Hutan

Nasional53 Dilihat
Ketua DPD Joman Kalteng Hendra Jaya Pratama mengatakan selama ini HPH PT. DWIMA JAYA UTAMA GROUP, terus melakukan Tata Kelola Hutan dengan baik dan mendorong Keterlibatan Partisipasi Publik.

Hendra menyampaikan ucapan Anton Gunadi melalui rilisnya kepada media ini seputaran kegiatan pihaknya dalam melakukanTata Kelola Hutan dengan baik dan mendorong Keterlibatan Partisipasi Publik.

Menurut Anton Gunadi, Pihaknya tidak pernah menindas masyarakat serta meminta masyarakat jangan mudah terporvokasi oleh isu tidak jelas.

Dan memohon kepada masyarakat yang tergabung dalam pengusaha putra daerah khusus industri kayu olahan maupun pengurus koperasi agar bisa tertib admitrasi dalam pengajuan permintaan kayu log untuk memenuhi kebutuhan industri kayu olahan lokal.

Informasinya, upaya untuk meletakkan tata kelola yang baik (good governance) dalam pembangunan di Indonesia pada dasarnya bukan merupakan hal yang baru.

Semenjak bergulirnya reformasi, upaya transformasi dari pemerintahan yang tertutup menjadi pemerintahan yang terbuka mulai dilakukan.

Munculnya Tap MPR no.9 tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi salah satu bentuk dari upaya transformasi tersebut.

Pada tahun 1999 pemerintah (cq. Departemen Kehutanan) melakukan revisi atas Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan menjadi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Revisi tersebut membuka peluang untuk dilakukannya tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia.

Akses informasi kepada masyarakat diberi landasan hukum yakni pada pasal 68 (2) poin b yang menyatakan bahwa masyarakat dapat: “Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan”

Peluang masyarakat untuk berpartisipasi juga lebih terbuka melalui pengaturan dalam pasal 70 (3) yang menyatakan bahwa: “Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.”

Dalam konteks ini, proses untuk menuju sebuah tata kelola kehutanan yang baik sudah mulai mendapatkan tempat dalam peraturan perundang-undangan.

Namun sangat disayangkan bahwa implementasi dari ketentuan tersebut seringkali menjadi sebuah proses birokrasi yang sulit. Salah satu tantangan yang sangat kompleks dalam konteks kehutanan adalah mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan.

Seharusnya, dengan sebuah sistem informasi kehutanan yang mapan dan partisipasi penuh dari segenap masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, tantangan mengenai kepastian lahan dan wilayah kelola dapat diselesaikan.

Namun ternyata permasalahannya lebih dari itu, karena pada saat penyusunan peraturan perundang-undangan kehutanan masih terdapat kepentingan sektoral yang membatasi ruang gerak masyarakat dalam mendapatkan keadilan.

Sebenarnya Undang-Undang No.41 tahun 1999 memberikan ruang agar pengelolaan hutan dilakukan secara transparan dan inklusif.

Namun faktanya status hutan sudah ditentukan dalam pasal 5 (1) menjadi hanya dua status yaitu hutan hak dan hutan negara.

Posisi masyarakat adat dan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan menjadi tidak memiliki ruang gerak yang cukup karena kedudukan mereka dalam hutan menjadi tidak jelas.

Ketika kembali melihat kepada definisi bahwa pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses, maka sudah seharusnya bila dalam penentuan status hutan masyarakat dilibatkan sebagai sebuah proses keterlibatan seluruh pemangku kepentingan.

Namun hal tersebut tidak terjadi, dan pada akhirnya masyarakat adat dan lokal menjadi tidak berdaya walaupun tinggal dan hidup di antara sumber daya tersebut.


Pengelolaan Hutan dan Lahan di Tingkat Pemerintah Daerah

Berdasarkan penelitian dari JARINGAN MASYARAKAT NUSANTARA (JOMAN DPD KALTENG), Hendra mengatakan bahwa pengelolaan hutan dan lahan oleh pemerintah kabupaten masih jauh dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.

Pengelolaan hutan dan lahan hampir selalu tidak transparan, menutup akses dan ruang bagi publik untuk berpartisipasi, minim akuntabilitas, serta kurangnya komitmen untuk melakukan koordinasi untuk menjalankan sebuah kegiatan.

Terdapat hasil temuan yang menarik bahwa terdapat korelasi antara ketidakberesan Tata Kelola Hutan dengan deforestasi yang terjadi di tingkat kabupaten.

Sebagai contoh dari sembilan kabupaten yang diteliti oleh JOMAN maka kabupaten yang memiliki angka laju deforestasi yang tinggi memiliki indeks tata kelola yang rendah.

Sebagai contoh dalam penelitian ini adalah Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah, Kabupaten Berau di Kalimantan Timur yang kehilangan hutan seluas 111 ribu hektar.

Selama tiga tahun (2010-2012-2022) memiliki indeks tata kelola yang lebih rendah daripada Kabupaten Paser dan Sintang yang tingkat deforestasinya relatif kecil.

Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat pada era desentralisasi kewenangan terbesar dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal pemberian izin-izin pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan.

Kelemahan ini berdampak terhadap tumbuh subur penyalahgunaan oleh pemegang kekuasan di tingkat daerah dan terjadinya praktik-praktik korupsi dalam proses pembukaan lahan, pemberian izin usaha ke sektor swasta dan konversi hutan alam yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

Pemanfaatan sumber daya alam menjadi salah satu sumber pendanaan utama di daerah yang kaya sumber daya alam.

Keuntungan besar yang bisa diperoleh oleh industri perkebunan serta keuntungan besar bagi pemegang konsesi tambang membuat pengambil kebijakan berduyun-duyun membagi-bagikan konsesi.

Motif mencari rente dari praktik pemberian izin telah mengalahkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

Lanjut Hendra, di beberapa kabupaten, pemberian izin marak mendekati masa pilkada dan tahun politik untuk membiayai agenda politik bupati dan para kroninya.

Meskipun masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya deforestasi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan tata kelola hutan turut adil dalam mempercepat kehancuran sumber daya hutan.

Masyarakat mengharapkan pentingnya informaai peta untuk Perencanaan Tata Ruang dan Tata Kelola Hutan Kab. Katingan

Perencanaan tata ruang bergantung pada peta untuk memberikan informasi tentang tutupan hutan, jenis tanah dan kepemilikan batas.

Pemetaan lahan untuk tujuan perencanaan tata ruang harus melibatkan dua hal yaitu: masalah teknis (deliniasi jenis tanah /kondisi, mengukur, dan menandai) dan masalah sosial (yaitu konsultasi dengan orang-orang lokal, kepemilikan rekaman dan klaim akses).

Ikut Bagaimana Tata Kelola Hutan Harusnya Dilakukan?
Tata kelola hutan dan lahan mengacu pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaimana lahan dan hutan yang dikelola.

Mekanisme tata kelola dapat bersifat top-down, hukum formal, kebijakan, atau program pemerintah untuk mengatur pemanfaatan lahan dan hutan.

Atau sebaliknya bottom-up, seperti yang dilakukan oleh masyarakat atau skema pemantauan informal yang menentukan bagaimana hutan, tanah dan sumber daya alam dimanfaatkan.

Pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses ini adalah pemerintah, masyarakat lokal, adat (adat) kelompok, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta.

Sistem tata kelola hutan dan lahan di Indonesia saat ini mengalokasikan berbagai tanggung jawab kabupaten, provinsi dan pemerintah nasional untuk aspek perencanaan tata ruang.

Kemudian, konsesi lahan (misalnya untuk kegiatan penebangan dan pertambangan, dan kelapa sawit dan hutan tanaman), perlindungan lingkungan, dan anggaran untuk pengelolaan lingkungan.

Kelemahan tata kelola hutan dalam banyak kasus adalah penegakan hukum yang lemah, termasuk terjadinya tumpang tindih atau ketidakjelasan aturan yang ada, kemampuan teknis dan peta yang akurat, kepemilikan lahan yang tidak jelas, kurangnya transparansi dan partisipasi publik dan korupsi.

Hendra menjelaskan, terkait aspek yang harus diperbaiki dalam mendukung tata kelola hutan yang baik mencakup aspek-aspek sebagai berikut:

Perencanaan Tata Ruang

Perencanaan tata ruang melibatkan mengalokasikan lahan Indonesia menjadi wilayah yang ditetapkan untuk perlindungan dan untuk pembangunan.

Sebagai contoh keputusan lahan mana yang akan digunakan untuk perkebunan sawit atau lahan mana yang akan menjadi hutan tanaman harus didasarkan pada alokasi tersebut.

Pendekatan ini merupakan dasar tata kelola lahan dan hutan untuk memastikan kegiatan penggunaan lahan sesuai dan terdapat integrasi antara kegiatan pemanfaatan lahan yang berbeda.

Kerangka hukum untuk perencanaan tata ruang mencakup persyaratan hukum untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan tata ruang masyarakat, serta integrasi lahan masyarakat dalam perencanaan.

Persoalannya, tidak ada pedoman yang jelas tentang bagaimana untuk melakukan hal ini, yang sering mendorong pemerintah kabupaten terus mengalokasikan lahan kepada pihak konsesi.

Selain itu permasalahan penyediaan peta yang detail menimbulkan sengketa antara pihak perusahaan dengan masyarakat lokal.

Perizinan dan Sistem Perizinan

Sistem perizinan dilakukan guna memastikan bahwa kegiatan yang berlangsung di hutan sesuai dengan lahan yang ditunjuk melalui rencana tata ruang, dan mematuhi undang-undang lingkungan, peraturan dan kewajiban.

Lisensi dan izin mengatur operasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal, dan menghasilkan pendapatan untuk kegiatan pemerintah.

Sistem perizinan di Indonesia identik dengan lambatnya birokrasi, mahal dan memakan waktu.

Berdasarkan penelitian, karena sulitnya memperolah izin dan lisensi, sangat sedikit perusahaan yang beroperasi di hutan dan lahan di Indonesia memiliki seluruh izin lisensi yang sesuai.

Akibatnya kerugian berada pada sisi penerimaan pajak negara dan operasi industri.

Seringkali dua atau lebih lisensi konsesi tumpang tindih dilokasi lahan yang sama karena peta yang tidak akurat.

Kurangnya koordinasi antar departemen pemerintah dan berbagai tingkat pemerintahan serta kurangnya transparansi dalam proses perizinan penggunaan lahan menyebabkan pengelolaan hutan dan lahan menjad tidak maksimal.

Sebagai contoh izin konversi lahan sering dialokasikan tidak tepat, seperti perkebunan kelapa sawit yang diizinkan untuk beroperasi pada lahan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

Disisi lain, saat izin dikeluarkan, perusahaan acapkali mengabaikan atau tidak sepenuhnya mematuhi berbagai peraturan lingkungan, gagal mendapatkan persetujuan dari masyarakat setempat.

Dan gagal memberikan laporan kepada pemerintah tentang usahanya guna memastikan bahwa lahan yang dialokasikan secara berkelanjutan, dan pendapatan membawa manfaat publik.

Penilaian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)

Penilaian AMDAL adalah proses untuk mengevaluasi dampak lingkungan dan sosial lahan pembangunan berbasis industri dan kegiatan.

Proses AMDAL adalah salah satu dari beberapa proses formal dalam sistem pemerintahan di Indonesia yang memiliki persyaratan partisipasi publik, yang berfungsi untuk memastikan bahwa izin yang dialokasikan untuk operasi akan meminimalkan dampak lingkungan dan sosial.

Meski AMDAL diwajibkan oleh hukum, namun dalam prakteknya penilaian ini berkualitas rendah dan hasilnya jarang dipublikasikan.

Komponen dampak sosial tertentu sering tidak representatif, atau hilang sama sekali.

Keterlibatan dan pemantauan oleh publik terhadap proyek-proyek dan kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak umumnya berguna untuk meningkatkan legitimasi AMDAL.

Pengelolaan Anggaran

Pengelolaan keuangan yang transparan adalah syarat untuk pengelolaan hutan yang baik, termasuk praktik penyaluran alokasi anggaran yang tepat dan pelaksanaan dan pengumpulan dana.

Penganggaran akan menjadi kurang berhasil jika praktiknya dilakukan secara non-transparan yang menyebabkan dana tidak dialokasikan secara tepat untuk aspek prioritas pengelolaan lingkungan.

Peningkatan dalam prosedur akuntabilitas, seperti analisis umum alokasi lingkungan dalam anggaran daerah dan pengumpulan dan distribusi pendapatan dari industri berbasis ekstraktif atau tanah sangat penting untuk mencapai tata kelola yang baik.

Lemahnya keterbukaan, transparansi dan praktik penganggaran yang buruk membuka celah terhadap korupsi dalam perizinan dan perencanaan tata ruang yang menyebabkan proses amat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan politik pemegang kekuasaan dari tingkat tinggi hingga tingkat lokal.

Tingginya mafia perizinan lahan untuk tujuan mencar keuntungan akan menyebabkan kerugian dan dampak bagi upaya konservasi dan perlindungan masyarakat setempat.

Sebagai contoh di beberapa kasus di daerah para pejabat sengaja mengaburkan proses perencanaan tata ruang dan sertifikasi tanah.

Lahan yang sebelumnya termasuk kawasan hutan diubah menjadi lahan non hutan dan menerbitkan izin usaha di atas lahan tersebut.

Dengan non-transparansi terjadi praktek kongkalikong diantara pejabat pemilik kekuasaan dengan perusahaan-perusahaan yang tidak bersih.

Pemantauan

Pemantauan adalah praktek mengevaluasi dampak dari kegiatan industri berbasis lahan pada hutan dan lahan.

Pemantauan memastikan bahwa undang-undang dan peraturan yang melindungi lingkungan dan masyarakat sekitar dipatuhi dan dapat ditegakkan, dan pendapatan dari industri ekstraktif dan tanah berbasis dikumpulkan dan didistribusikan secara adil.

Aspek pemantauan sering lemah karena terhambat oleh kurangnya kapasitas, kekurangan staf dan kurangnya transparansi.

Meningkatkan akses informasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemantauan lingkungan adalah cara untuk memanfaatkan sistem pemantauan seperti diamanatkan oleh undang-undang untuk mendukung hutan yang baik dan tata kelola lahan.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum sangat penting untuk memastikan industri berbasis lahan mematuhi hukum dan peraturan lingkungan di Indonesia.

Penegakan hukum yang baik menjamin bahwa sanksi hukum yang diberikan pada saat undang-undang dan peraturan yang dilanggar.

Prosedur pengaduan yang efektif harus dapat diakses guna mendukung penegakan hukum, sehingga masyarakat setempat yang terkena dampak dan para pemangku kepentingan lainnya yang terkena dampak untuk melaporkan pelanggaran lingkungan dan sosial.

Mekanisme peradilan informal bekerja untuk mempromosikan kepatuhan penggunaan lahan dan kehutanan, dan guna memastikan bahwa hak-hak masyarakat setempat tidak dirugikan, demikian (Hendra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *